Selasa, 10 Juli 2007
HUKUM PERKAWINAN DAN WARIS BARAT
PEMBAGIAN WARISAN
Disusun Oleh :
ICHSAN HARIS (130.2005.013)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2007
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian Hukum Waris
Hukum waris merupakan kelanjutan Hukum Keluarga, tetapi juga mempunyai segi Hukum Harta Kekayaan. Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka akan ada akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun antara mereka dengan pihak ketiga.
Pengaturan Hukum Waris dalam KItab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan pasal 528 KUH Perdata, hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan Pasal 584 KUH Perdata menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam penempatannya dimasukkan dalam Buku II KUH Perdata (tentang benda).
Penempatan Hukum Waris dalam Buku II KUH Perdata ini menimbulkan reaksi di kalangan para ahli hukum karena mereka berpendapat bahwa dalam HUkum Waris tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, artinya aspek-aspek hukum lainnya pun tersangkut dalam Hukum Waris ini.
Harta peninggalan selain berupa hak-hak kebendaan yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan dapat juga berupa sejumlah hutang-hutang yang melibatkan pihak ketiga. Dalam hal inilah tersangkut aspek Hukum Harta Kekayaan tentang Perikatan.
Menurut undang-undang syarat utama untuk tampil sebagai ahli waris adalah adanya hubungan darah, dengan demikian maka berarti pula bahwa aspek Hukum Keluarga ikut menentukan dalam Hukum Waris.
Oleh karenanya sementara ahli hukum berpendapat untuk menempatkan Hukum Waris sebagai bahan tersendiri, tidak tercakup dalam Hukum Harta Kekayaan ataupun Hukum Keluarga.
Dengan staatsblad 1917 No. 129 jo. Staatsblad 1924 No.557 Hukum Waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan staatsblad 1917 No. 12 tentang penundukkan diri terhadap Hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan Hukum Waris yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tegasnya, Hukum Waris KUH Perdata berlaku bagi :
Orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa.
Timur Asing Tionghoa.
Timur Asing lainnya dan pribumi yang menundukkan diri.
BAB II
SUBYEK HUKUM WARIS
Pewaris
Setiap orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan disebut pewaris (Erflater). Ini berarti syarat sebagai pewaris adalah adanya hak-hak dan/atau sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan uang.
Ahli Waris
Orang-orang tertentu, yang secara limitatif diatur dalam KUH Perdata, yang menerima harta peninggalan ialah :
Ahli Waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofed) atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini, KUH Perdata menggolongkannya sebagai berikut :
a. Golongan Pertama
Yaitu sekalian anak-anak beserta keturunannya dalam garis lancang ke bawah.
b. Golongan Kedua
Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan.
c. Golongan Ketiga.
Pasal 853 dan pasal 854 KUH Perdata menentukan dalam hal tidak terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan harus dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, setengah bagian lagi untuk kakek-nenek pihak ibu.
d. Golongan Keempat.
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam.
Ahli Waris berdasarkan penggantian (bijplaatsvervulling), dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung. KUH Perdata memperinci ahli waris berdasarkan penggantian sebagai berikut :
a. Penggantian dalam garis lancing ke bawah.
Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh sekalian cucu (anak-anaknya) pewaris. Dalam hal semua anak (ahli waris yang dalam kedudukannya sendiri) ternyata “onwaardig”, maka sekalian cucu-cucu pewaris tampil dalam kedudukannya sendiri, karena dalam penggantian berlaku ketentuan pasal 848 KUH Perdata.
b. Penggantian dalam garis ke samping (Zijlinie)
Tiap saudara kandung/saudara tiri yang meninggal terlebih dahulu digantikan oleh sekalian anaknya.
c. Penggantian dalam garis ke samping, juga melibatkan penggantian anggota-anggota keluarga yang lebih jauh.
Missal : Paman/keponakan, jika meninggal terlebih dahulu digantikan oleh keturunannya.
Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan.
Dalam hal ini kemungkinannya timbul karena dalam KUHPer terdapat ketentuan tentang pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan pewaris berdasarkan suatu testament/wasiat. Pihak ketiga tersebut dapat berupa pribadi kodrat/orang atau pribadi/perseorangan – rechts persoon.
Pihak Ketiga yang Tersangkut Dalam Warisan.
Selain ahli waris dan pewaris dalam KUHPer dikenal adanya :
1. Fidei comis,
ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu den setelah lewatnya waktu, warisan itu harus diserahkan pada orang lain. Cara pemberian warisan semacam ini oleh undang-undang disebut sebagai pemberian warisan secara melangkah.
2. Executeur testamentair,
adalah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris.
3. Bewindvoerder/Pengelola,
adalah seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legataris hany menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kekayaan (harta peninggalan) tersebut dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris/legataris.
v Obyek Hukum Waris
Pada prinsipnya obyek Hukum Waris adalah harta kekayaan yang dipindahtangankan dari pewaris kepada ahli waris. Harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut berupa :
Aktiva
Yaitu sejumlah benda yang nyata ada dan/atau berupa tagihan/piutang kepada pihak ketiga. Selain itu aktiva dapat pula berupa hak immaterial (hak cipta dan sebagainya).
Passiva
Yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya (menyimpan benda orang lain dan sebagainya)
Dengan demikian berarti bahwa hak-hak dan kewajiban pewaris yang lahir dari hubungan Hukum Keluarga tidak dapat diwariskan, kecuali hak suami/ayah untuk menyangkal anaknya.
v Legitieme Portie
Adalah suatu bagian warisan tertentu yang harus diterima seorang ahli waris dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak semua ahli waris berhak atau legitieme portie.
Yang berhak memperoleh legitime portie ini adalah hanya ahli waris dalam garis lancing, baik ke bawah maupun ke atas. Tegasnya hak atas legitieme portie ini baru timbul apabila seorang dalam suatu keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut undang-undang.
Dalam hal legitieme portie ada prioritas/penutupan. Misalnya jika si pewaris meninggal meninggalkan anak-anak dan cucu-cucu sebagai ahli waris golongan pertama, maka orang tua sebagai ahli waris golongan pertama, maka orang tua sebagai ahli waris golongan kedua tidak tampil ke muka sebagai ahli waris dan karenanya tidak berhak atas suatu legitieme portie.
Seorang yang berhak atas legitieme portie dinamakan “legitimaris”. Ia dapat meminta pembatalan tiap testament yang melanggar haknya tersebut dan ia berhak pula untuk menuntut supaya diadakan pengurangan (inkorting) terhadap segala macam pemberian warisan, baik yang berupa erfstelling maupun berupa legaat yang mengurangi haknya.
Peraturan mengenai legitieme portie ini oleh undang-undang dipandang sebagai suatu pembatasan hak pewaris dalam membuat testament menurut kehendak hatinya sendiri. Oleh karenanya pasal-pasal tentang legitieme portie itu dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair erfrecht).
Mengenai besarnya legitieme portie pasal 914 KUHPerdata menentukan sebagai berikut :
1. Dalam hal ahli waris hanya terdiri dari seorang anak sah, maka legitieme portie nya adalah ½ (separuh) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
2. jika terdapat 2 orang anak sah sebagai ahli waris maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing adalah 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut UU.
3. apabila ternyata ahli waris yang ada terdiratau lebih dari 3 anak sah, maka bagian masing-masing ahli waris adalah ¾ bagian yang sebenarnya yang akan diperoleh sebagai ahli waris menurut UU.
Hak atas legitieme portie dapat digantikan oleh sekalian cucu-cucu pewaris sebagai pengganti ahli waris (anak) yang telah meninggal terlebih dahulu. Adapun besarnya legitieme portie untuk ahli waris dalam garis lancing ke atas menurut pasal 915 KUHPerdata adalah separuh bagian yang seyogyanya ia peroleh dalam kedudukannya sebagai ahli waris menurut UU.
Sedangkan ketentuan pasal 916 KUHPerdata, mengatur bagian legitieme portie dari seorang anak luar kawin yang diakui yaitu separuh dari bagian yang semestinya ia perleh sebagai ahli waris menurut UU.
BAB III
HAK dan KEWAJIBAN
PEWARIS dan AHLI WARIS
Hak dan Kewajiban Pewaris
1. Hak Pewaris
Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah testament/wasiat. Isi dari testament/wasiat tersebut dapat berupa :
a.Erfstelling,
yaitu suatu penunjukkan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan. Orang yang ditunuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
b.Legaat,
adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar testament/wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
a) (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu
b) (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu.
c) hak vruchtgebruik atas sebagian/seluruh warisan (pasal 957KUHPerdata)
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris.
Bentuk testament ada tiga macam :
Openbaar Testament,
Yaitu testament yang dibuat oleh seorang notaries dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Olographis Testament,
Adalah testament yang ditulis oleh si calon pewaris sendiri (eigenhandig), kemudian diserahkan kepada seorang notaries untuk disimpan (gedeponeerd) dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Testament Rahasia,
Dibuat oleh calon pewaris tidak harus ditulis tangan, kemudian testament tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang notaries dengan disaksikan oleh empat orang saksi.
2. Kewajiban Pewaris
Kewajiban pewaris adalah merupakan pembatasan terhadap haknya yang ditentukan oleh undang-undang. Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan (pasal 913 KUHPerdata). Jadi legitieme portie adalah pembatasan terhadap hak si pewaris dalam membuat testament/wasiat.
B. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
1. Hak Ahli Waris
Setelah terbuka warisan, ahli waris diberi hak untuk menentukan sikap :
a) Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding),
Yang dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris.
Secara diam-diam, jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersbut harus mencerminkan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang-hutang pewaris.
b) Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) voorrecht van boedel beschrijving atau beneficiare aanvaarding.
Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri di tempat warisan terbuka. Akibat yang terpenting dari warisan secara beneficiare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang-hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran hutang dengan kekayaan sendiri, jika hutang si pewaris lebih besar dari harta bendanya.
c) Menolak warisan.
Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar daripada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan penolakan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat.
2. Kewajiban Ahli Waris
a) Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
b) Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain-lain.
c) Melunasi hutang pewaris jika pewaris meningalkan hutang.
d) Melaksanakan wasiat jika ada.
BAB IV
CARA PEMBAGIAN WARISAN
Setelah selesai perhitungan dan pembayaran hutang-hutang pewaris; pasal 1079 KUHPer mengatur tata cara pembagian warisan sebagai berikut :
1. Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata seperti misalnya seperdua harta warisan jika ahli waris hanya terdiri dari dua orang saja, seperlima jika ternyata ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
2. bila di antara para ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya, di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan memebrikan sejumlah uang tunai pada yang mendapat kurang dari bagiannya.
Jika terdapat perselisihan tentang siapa di antara mereka yang mendapat barang tertentu selaku bagiannya, maka hal ini harus diundi. Apabila tidak ada kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan kepada masing-masing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri.
Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, pasal 1080 KUHPer membuka kemungkinan tukar-menukar bagian masing-masing di antara para ahli waris.
Pasal 1083 KUHPer menegaskan : apabila pembagian warisan sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dianggap sebagai pemilik barang yang diterimanya sejak saak pewaris meninggal.
Tentang cara pembagian warisan oleh undang-undang ditetapkan sebagai berikut:
1) Jika semua ahli waris sudah dewasa dan cakap bertindak dalam hokum dan semua ahli waris tersebut dapat hadir sendiri, maka pembagian warisan tersebut diserahkan pada kemufakatan antara mereka.
2) Jika ternyata di antara ahli waris yang ada masih terdapat anak-anak dibawah umur atau ada yang di bawah pengampuan (curatele) maka pembagin warisan harus dilakukan dengan suatu akte notaries dan dihadapkan Balai Peninggalan Harta, sebagai dasar pembagian harus dipakai harta taksiran dari semua benda warisan.
Suatu hal yang berkaitan erat dengan pembagian adalah INBRENG yaitu masalah pengembalian ke dalam boedel benda-benda yang diberikan semasa pewaris masih hidup. Pemberian semacam ini dianggap sebagai voorschot atas bagian warisannya yang akan diperhitungkan kemudian. Perhitungan ini dapat dilakukan kemudian, dengan cara mengembalikan barang-barang pada boedel warisan.
Menurut undang-undang kewajiban melakukan INBRENG tersebut ada pada para ahli waris dalam garis lancing ke bawah dengan tidak membedakan ahli waris berdasarkan undang-undang atau ahli waris atas dasar testament, juga tidak dibedakan ahli waris yang menerima secara penuh atau menerima secara beneficiare. Tetapi pewaris pun berhak pula menetukan bahwa ahli waris yang telah menerima benda-benda tertentu semasa hidup dibebaskan dari INBRENG.
Contoh Kasus :
Ahli Waris B (Bapak) C (Ibu) G (Keponakan dari garis Bapak) H (Keponakan Kandung) dan I (Keponakan dari garis Ibu). Menurut Pasal 857 jo. Pasal 854 jo. Pasal 850 adalah sebagai berikut :
HP : Harta Peninggalan : Rp 20.000.000,-
B (Bapak) memperoleh : ¼ x HP
¼ x Rp 20.000.000,- = Rp 5.000.000,-
C (Ibu) memperoleh : ¼ x HP (Pasal 854)
¼ x Rp 20.000.000,- = Rp 5.000.000,-
Sisa harta dibagi dua lebih dahulu yaitu :
½ x ½ = ¼ untuk saudara-saudara sebelah Bapak yaitu G dan H
½ x ½ = ¼ untuk saudara-saudara sebelah Ibu (H dan I)
Bagian G memperoleh : ½ x ¼ = 1/8 x HP
1/8 x Rp 20.000.000,- = Rp 2.500.000,-
PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH
Disusun Oleh :
Kelompok VII
1. ICHSAN HARIS (130.2005.013)
2. ADI PUTRA (130.2005.003)
3. CHAUDRY Z.A (130.2005.029)
4. YAKUB MARTOYUDO (130.2005.028)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2007
I. PENDAHULUAN
Pada waktu-waktu sebelum reformasi penerapan dan penegakan hukum Islam di Negara Hukum Indonesia (NHI) ini masih sangat terbatas atau tepatnya dibatasi dalam hal-hal hukum perdata atau tepatnya dalam hal hukum keluarga, dan itupun masih dalam konteks yang terbatas atau dibatasi; pasca reformasi NHI, hukum perdata Islam yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia tampak mengalami perluasan yang sangat signifikan.
Di antara contohnya ialah penerapan hukum Islam bidang muamalah, khususnya perbankan syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan asuransi syariah di samping yang lain-lain. Sama halnya dengan hukum materiil ekonomi islam/ekonomi syariah lainnya, hukum materiil asuransi syariah juga pada dasarnya mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sedangkan mengenai hukum formil (hukum acara) ekonomi syariah pada umumnya dan asuransi syariah pada khususnya, dapat dikatakan belum secara khusus belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, kehadiran hukum acara tentang muamalah ini jelas merupakan kepentingan mendesak yang harus dipikirkan oleh lembaga-lembaga yang menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan ekonomi Islam/syariah umumnya dan asuransi syariah pada khususnya.
II. Pengertian
Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dalam berbagai-bagai arti seperti pembersihan dan pemecahan) seperti pemberesan dan pemecahan.(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hlm. 1020).
Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran dan perbantahan; selain diartikan dengan pertikaian; perselisihan dan perkara (di pengadilan). (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hlm. 1037).
Syariah dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminology, syariah diartikan sebagai hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya sebagaimana terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
III. Badan/Lembaga yang Berwenang Menyelesaikan Sengketa Syariah
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) (Non Litigasi)
Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993/ 5 Jumadil Awal 1414 H membentuk suatu lembaga yang dinamakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang beberapa tahun kemudian berubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdasarkan SK MUI No Kep-09/ MUI XII/ 2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Tugas BASYARNAS antara lain :
1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2) Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Sejatinya, arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat.
Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat islam dan prosedur hokum yang berlaku. Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat (binding).
Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbiter. Kasus sengketa syariah tersebut dapat dibawa ke lembaga Arbitrase kalau kedua pihak menyetujui. Hal ini mengacu kepada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam ajaran islam, semua aktivitas hendaknya disandarkan pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Kehadiran Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam islam guna mencapai kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa bisnis. Hal yang demikian dimaksudkan agar umat islam terhindar dari perselisihan/pertengkaran yang dapat memperlemahn persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiah.
Peradilan Agama (Litigasi)
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan lembaga-lembaga keuangan syariah di Negara Hukum Indonesia, yang di masa-masa depan tidak mustahil akan timbul banyak kasus yang boleh jadi tidak akan mampu ditangani oleh BASYARNAS dan memerlukan campur tangan peradilan.
Maka negarapun memandang penting untuk membentuk undang-undang yang memberikan wewenang kepada lembaga peradilan untuk menerima, memeriksa dan menyelesaiakan perkara-perkara di bidang hukum muamalah ini.
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang dalam Pasal 49 nya menyebutkan :
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi Syariah.”
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama juga menyebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘Ekonomi Syariah’ adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi :
a. Bank Syariah
b. Asuransi Syariah
c. Reasuransi Syariah
d. Reksadana Syariah
e. Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. Sekuritas Syariah
g. Pembiayaan Syariah
h. Pegadaian Syariah
i. Dana Pensiun Syariah
j. Bisnis Syariah, dan
k. Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Dengan Pasal tersebut, Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut sebagai forum litigasi menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah, yang termasuk di dalamnya isu-isu perbankan syariah.
Mengacu kepada perundangan yang sudah ada, MA harus menegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktek ekonomi syariah mesti diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam akadnya suatu kalusul mengenai dilibatkannya Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa.
Tetapi penegasan ini tidak cukup, penyelesaian sengketa dalam hokum perikatan umum, lembaga Arbitrase sebagai jalur penyelesaian non-litigas ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal eksekusi misalnya. Lembaga Arbitrase jelas-jelas tidak bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas dan wewenang pengadilan agama pun nanti kurang lebih sama dengan pengadilan umum dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini.
IV. KESIMPULAN
Sesuai dengan doktrin ilmu hukum yang menyatakan bahwa hukum “tidak berlaku surut,” maka sejauh yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini diberlakukan, tentu diselesaikan melalui BASYARNAS sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani para pihak.
Pemahaman seperti ini juga ditopang oleh asas akad yang antara lain berasaskan kebebasan berkontrak, termasuk tentunya kebebasan untuk memilih lembaga/badan yang menengahi atau dipercaya untuk menyelesaikan perkara bila di kemudian hari terjadi perselisihan.
Penyelesaian perkara sengketa syariah masih tetap dimungkinkan melalui BASYARNAS sepanjang para pihak menghendaki hal yang demikian, dan dicantumkan di dalam surat perjanjian/kontrak tentang kemungkinan penyelesaian perselisihan melalui BASYARNAS ini.
Hanya saja, bila para pihak menghendaki untuk menyelesaikan perkaranya melalui Pengadilan Agama, maka ini akan lebih baik dan lebih kuat mengikat secara umum dan secara keseluruhan, eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan tentu lebih kuat dibandingkan dengan lembaga arbitrase dan lembaga-lembaga sejenis di luar lembaga peradilan.
Tata cara penilaian tingkat kesehatan bank telah mengalami revisi beberapa kali. Hal ini menunjukan betapa dinamisnya perkembangan perbankan diindonesia, maka penyempurnaan serta perubahan-perubahan tersebut pasti akan selalu dilaksanakan oleh otoritas moneter guna disesuaikan dengan kondisi dan perbankan dimasa mendatang.
Untuk lebih jelasnya kita perlu melihat secara cermat apa saja perbedaan-perbedaan antara ketentuan lama yang diatur dalam SK Direksi BI NO.26/23/KEP/DIR tanggal 29 mei 1993 dengan ketentuan baru sebagaimana ditetapkan dalam SK Direksi BI NO.30/11/KEP/DIR tanggal 30 april 1997.
Adapun pokok-pokok perbedaan antara tata cara penilaian tingkat kesehatan bank umum sebagaimana diatur dalam SK Direksi BI tanggal 30 april 1997 dengan ketentuan lama ( 29 mei 1993 ) adalah sebagai berikut :
1. Faktor permodalan
Berdasarkan ketentuan baru ( 30 april 1997) bank-bank diwajibkan untuk memelihara kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM/CAR) sekurang-kurangnya 8%. Oleh karna itu, cara penilaian terhadap rasio modal yang kurang dari 8% dalam ketentuan yang baru diberikan predikat kurang sehat, maksimum dengan nilai kredit 65
2.Faktor kualitas aktiva produktif
Salah satu komponen dalam penilaian factor (KPA) dalam ketentuan lama yaitu perbandingan antara jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) terhadap jumlah aktiva produktif yang diklarifikasikan (APD), dalam ketentuan baru ( 30 april 1997) digantikan dengan komponen PPAP yang telah dibentuk terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk oleh bank ( PPAPWD)
3.Faktor management
Penilaian factor manajemen yang dalam ketentuan (29 mei 1993) didasarkan pada penilaian terhadap 250 aspek yang terkait dengan manajemen permodalan, kualitas aset, rentabilitas, dan likuiditas diubah dengan nilai yang didasarkan pada 100 aspek dengan memberikan penekanan pada manajemen umum dan manajemen resiko yang melekat pada berbagai kegiatan usaha bank.
Khusus untuk bank umum bukan devisa, penilaian manajemen hanya didasarkan atas 85 aspek, karena 15 aspek lainnya khusus berkaitan dengan kegiatan usaha bank umum devisa.
4.Faktor likuiditas
Pengukuran rasio kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga yang diterima sebagai salah satu komponen yang dinilai dalam factor likuiditas dalam ketentuan lama ( 29 mei 1993) semula dinilai tidak sehat 0 untuk rasio 110% atau lebih dan sehat dengan nilai 100 untuk rasio kutang dari 110%, dalam penilaian baru ( 30 april 1997 ), pengukurannya dilakukan dengan cara berjenjang sejalan dengan penilaian terhadap komponen lainnya.
5.Pelaksanaan ketetapan yang mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan.
Ketentuan baru (30 april 1997) mencabut semua ketentuan lama (29 mei 1993 ), namun tidak mencabut ketentuan SK Direksi BI No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 april 1997 dan SK Direksi BI No. 29/192/KEP/DIR tanggal 26 mater 1997. kedua SK direksi BI tersebut menetapkan bahwa pemenuhan kredit usaha kecil (KUK) dan kredit export (KE) tidak lagi dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank.
Dengan demikian ketentuan tentang tingkat kesehatan bank yang baru tidak lagi memasukkan pemenuhan kedua ketentuan tersebut, yaitu KUK dan KE dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Diluar perbedaan-perbedaan itu, pada prinsipnya penilaian tingkat kesehatan bank adalah sama.
PENILAIAAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
SK Direksi BI No. 30/11/KEP?DIR tanggal 30 april 1997 ( ketentuan-ketentuan tentang penilaian tingkat kesehatan yang baru) menyatakan bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun BI selaku pembina dan pengawas bank .
Macam-Macam perikatan
A. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata Perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam :
1. Menurut isi daripada prestasinya :
a. Perikatan positif dan negatif
Ialah perikatan yang prestasinya berupa perbuatan positif yaitu memberi sesuatu dan berbuat sesuatu sedangkan positif negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa sesuatu perbuatan yang negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.
b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya cukup hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai sedangkan perikatan berkelanjutan adalah perikatan prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu, misalnya perikatan yang timbul dari perjanjian-perjanjian sewa-menyewa dan perburuhan.
c. Perikatan alternatif
Ialah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam perjanjian.
d. Perikatan fakultatif
Ialah perikatam yang hanya mempunyai satu objek prestasi, dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang lain, bilamana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah ditentukan semula.
e. Perikatan generic dan specifik
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya hanya ditentuka jenis dan jumlahnya berang yang harus diserahakan debitur kepada kreditur, misalnya penyerahan sebanyak beras sebanyak 10 ton. Sedangkan perikatan specifik adalah perikatan dimana objeknya ditentukan secara terperinci sehingga nampak ciri-ciri khususnya. Misalnya debitur diwajibkan menyerahkan beras sebnayak 10 ton dari cianjur kualitet ekspor nomor 1.
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Perikatan yang dapat di bagi adalah perikatan yang prestasinya dapat dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya tidak dapat dibagi.
2. Menurut subjeknya :
a. Perikatan tanggung-menanggung
Ialah perikatan dimana debitur dan / atau krediturnya terdiri dari beberapa orang. Selanjutnya mengenai perikatan tanggung-menaggung ini lihat pasal 1749 dan 1836 BW serta pasal 18 KUHDagang.
b. Perikatan pokok dan tambahan
Perikatan pokok adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa tergantung pada adanya perikatan yang lain contohnya, perjajian peminjaman uang. Sedangkan perikatan tambahan ialah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perikata tambahan daripada perikatan pokok contohnya, perjanjian gadai, hipotik dan credietverband.
3. Menurut mulai berlakunya dan berakhirnya :
a. Perikatan bersyarat
Ialah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya (batalnya) digantungkan pada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi.
Apa yang telah disebut syarat, telah ditentukan dalam pasal 1253 yaitu ; digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi.
Dan syarat itu ada dua macam yaitu :
1. Syarat yang menangguhkan bermaksud apabila syarat itu dipenuhi maka perikatan menjadi berlaku.contohnya ; A akam menjual rumah kepada B kalau A jadi dipindah atau tidak, tergantung dari jawatannya, jadi belum pasti terjadi. Kalau A jadi dipindah ke Jakarta, maka perikatan berlaku, yaitu A harus menjual rumahnya kepada B.
2. Syarat yang memutus (membatalkan) apabila syarat itu dipenuhi perikatan menjadi putus atau batal. Contohya : A akan menyewakan rumahnya kepada B asal tidak dipakai untuk gudang. Kalau B mempergunakan rumah itu untuk gudang berarti syarat itu telah dipenuhi dan perikatan menjadi putus dan pemuliahan dalam kedaan semula seperti tida pernah terjadi perikatan.
Syarat-syarat yang tidak mungkin dan syarat-syarat bertentangan dengan kesusilaan .
Pasal 1354 menentukan bahwa perikatan yang bertujuan melakukan yang tidak mungki terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan dan yang dilarang oleh undang-undangadalah bartal.
Syarat yang tidak mungkin terlaksana berarti secara objektif syarat itu tidak mungkin dipenuhi.
Syarat-syarat dibedakan menurut isinya :
1) Syarat yang potestatif ialah syarat yang pemenuhannya tergantung dari kekuasaan salah satu pihak. Contohnya : dari pasal 1256, saya akan memeberi barang kepadamu kalau engkau maum, perikatan demikian adalah batal.sebetlnya contoh tersebut perikatan tidak terjadi, juga tidaka akan timbul perikatan bersyarat kalau dibaca ayat 2 pasal 1256 maka disitu agak jelas maksudnya namun masihmenimbulkan keragu-raguan juga. Dinyatakn bahwa perikatan adala syath apabila tergantung dari perbuatan orang yang terikat. Contohnya : saya akan menjual barang ini kalau engkau membayar harganya Rp. 10.000, jadi tidak hanya tergantung pada kemauan saja, tetapi juga pada kemampuannnya untuk membayar.
2) Syarat yang kebetulan ialah syarat yang pemenuhannya tidak tergantung dari kekusaan kedua belah pihak. Contohnya : saya akan memberi rumah kepadamu, apabila tahun ini pecah perang.
3) Syarat yang campuran ialah syarat yang pemenuhannya tegantung dari kemauan salah satu pihak juga tergantung dari kemauan pihak ketiga bersama-sama. Contohnya ; A akan memberi rumah kepada B, kalau B mau kawin dengan kemenakannya. Jadi syarat ini tergantung dari B juga tergantung dari kemenakannya.
b. Perikatan dengan ketetapan waktu.
Ialah perikatan yang pelaksaannya ditangguhkan sampai pada suatu waktu yang ditentukan yang pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu yang dimaksudkan akan tiba.
Perikatan dengan ketentuan waktu apabila pelaksanaan dari perikatan ditangguhkan sampai waktu yang tertentu atau berlakunya perikatan sampai waktu yang tertentu atau berlakunya perikatan akan berakhir (terputus) samapai waktu yang ditentukan itu telah tiba. Ketentuan waktu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. ketentuan waktu yang menagguhkan
2. ketentuan waktu yang memutus yaitu perjanjian kerja untuk waktu I tahun atau sampai meninggalnya si buruh.
Perikatan dengan ketentuan waktu adalah adanya kepastian bahwa waktu itu akan tiba. Ketentuan itu dapat tetap maksudnya adalah adanya penyerahan barang dilakukan tanggal 1 januari yang akan dating atau 14 hari lagi. Ketentuan waktu yang tidak tetap maksudnya adalah yaitu A akan memberikan rumah kepada B kalu A mati, kematian A adalah pasti, tetapi kapan rumah itu terjadi adalah tidak dapat ditetapkan.
Akibat hokum dari perikatan dengan ketentuan waktu adalah bermacam-macam . undang-undang mengatur bahwa ketentuan waktu itu adalah untuk keuntungan dari debitur, kecuali kalau ditentuka lain pasal 1270.
B. Menurut undang-undang, perikatan dapat dibedakan atas beberapa macam sebagai berikut :
a. Perikatan bersyarat
b. Peikatan manasuka (alternatif)
c. Perikatan tanggung-menanggung
d. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
e. Perikatan dengan ancaman hukum
Adalah perikatan dimana ditentukan bahwa debitur akan dikenakan suatu hukuman apa bila ia tidak melaksanakan perikatan .
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam :
1) Sama sekali tidak memenuhi wanprestasi
2) Tidak tunai memenuhi prestasi
3) Terlambat memenuhi prestasi
4) Keliru memenuhi prestasi
Peristiwa-peristiwa yang mungkin menimbulkan overmacht
1. Undang-undang dan tindakan pemerintah
2. Sumpah
3. Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga
4. Sakit
5. Pemogokan buruh
6. Tidak memiliki uang
Jenis- jenis perikatan
Perikatan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Perikatan perdata adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya dapat diduga di depan pengadilan.
2. Perikatan wajar ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak dapat digugat dimuka pengadilan jadi tanpa gugat.
3. Perikatan yang dapat dibagi-bagi ialah prestasinya dapat dibagi-bagi.
4. perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi ialah prestasinya tidak dapat dibagi-bagi.
5. Perikatan yang Pricipaal ialah perikatan yang pokok.
6. Perikatan yang Accesoir ialah perikatan yang tambahan.
7. Perikatan yang spesifik ialah perikatan yang prestasinya ditentukan satu persatu (terperinci).
8. Perikatan yang generic ialah yang prestasinya ditentukan menurut jenisnya.
9. Perikatan yang sederhana ialah perikatan yang prestasinya terdiri dari satu prestasi.
10. Perikatan yang berlipat ganda adalah perikatan yang terdiri dari beberapa prestasi.
11. Perikatan yang sepintas ialah perikatan yang pemenuhan prestasi hanya dilakukan dngan satu kali saja dalam waktu yang singkat misalnya : penyerahan barang jual-beli.
12. Perikatan yang terus-menerus ialah yang pemenuha prestasinya dilakukan dengan terus-menerus berkelanjutan dalam waktu yang panjang meisalnya : sewa-menyewa, perjanjian perburuhan dan sebagainya.
13. Perikatan yang murni ialah perikatan yang prestasinya dapat dipenuhi pada saat itu juga
14. Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada syarat tertentu.
15. Perikatan dengan ketentuan waktu ialah perikatan yang pemenuhan pestasinya digantungkan pada waktu yang tertentu.
Pemutusan (pembatalan) perjanjian akibat wanprestasi
Pemutusan perjanjian yang timbal balik diatur dalam pasal 1256-1266 yaitu pasal-pasal mengenai perikatan bersyarat. Karena sesuai dengan KUHPerdata kita yaitu bahwa dalm setiap perjanjian yang timbal balik dianggap sebagai dilakukan dengan syarat yang memutus (batal) karena salah satu dari kedua belh pihak tidak memenuhi kewajiban.
Hal ini merupakan syarat yang memutus yang dilakukan secara dia-diam yang pelaksanaannya mempunyai akibat bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah terjadi dan segala akibat daripada itu adalah :
1. perikatan berhenti selama belum dipenuhi
2. pengembalian seperti keadaan semula artinya apa yang telah diterima oleh pihak lain harus dikembalikan lagi seperti tidak pernah terjadi perjanjian.
Tetapi kadang-kadang pengembalian dalam keadaan semula menimbulkan kesulitan karena pemutusan yang sebagian,artinya menenai perjanjian yang telah dipenuhi sebagian kemudian terjadi pemutusan perjanjian.
Perjanjian-perjanjian yang sifatnya khusus :
a. Perjanjian liberatior (kebalikan dari perjanjian obligator) yaitu perjanjia untu membebaskan suatu kewjiban yng sudah ada, misalnya : pembebaskan hutang (pasal 1438) atau pembaharuan hutang (pasal 1413).
b. Perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan
Perjanjian pembuktian ialah pihak-pihak dapat menetukan sendiri apa yang berlaku sebagai pembuktian dalam perjanjian itu
.
Perjanjian penetapan ialah perjanjian untuk menetapkan apa yang menurut hokum akan berlaku antara para pihak tanpa ada maksud untuk menimbulkan hak-hak dan keawajiban-kewajiban yang baru. Sifat perjanjian ini adalah deklaratif dan tidakmenimbulkan hal-hal baru tetapi menetapkan apa yang dianggap hubungan hokum yang terjadi antara pihak. Contohnya peraturan ganti rugi dalam asuransi dalam KUHPerdata pasal 1851 mengenai dading.
c. Perjanjian untung-untungan
Ialah suatu perjanjian yang spekulatif salah satu pihak ada kewajiban yang tetap dengan harapan adanya kemungkinan akan menerima keuntungan, misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 yaiyu mengenai untung dan rugi tergantung dari peristiwa yang belum pasti.
d. Perjanjian hukum publik
Ialah perjanjian yang seluruhnya atau sebagian dikuasai oleh hokum publik.
Perjanjian bernama, perjanjian tidak bernama atau campuran
Sebenarnya perjajian itu bernama atau tidak adalah berdasarkan apakah ia debitur tersendiri dalam undang-undang tidak dan bukan karena ia mempunyai nama tertentu.
Sebab ada perjanjian yang mempunyai nama sendiri tetapi tidak diatur dalam undang-undang misalnya : perjanjian sewa beli, ada piula perjanjian yang disubut perjanjian campuran yaitu perjanjian yang mempunyai sifat-sifat yang terdapat dalam perjanjian bernama misalnya : pemilik hotel yang menyewakan kamarnya kemudian menyediakan makan jual beli) dan juga memberikan pelayanan atau mencui makanan (perjanjian untuk melakukan jasa).
Berlakunya perjanjian diatur dalam pasal 1315,1318 dan 1340 KUHPerdata.
1. Perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian
Pasal 1315 dan pasal 1340, perjanjian hanya berlaku untuk para pihak yang membuat perjanjian, perjanjian tidak dapat membawa kerugian atau keuntungan bagi pihak ketiga, kecuali yang diatur dalam pasal 1317.
Dalam pasal 1316 disebutkan : meskipun demikian adalh diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga yang maksud sebetulnya “untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
2. Perjanjian berlaku bagi para ahli waris dan mereka yang memperoleh hak
Pasal 1318 menyebutkan dengan jelas hak-hak yang timbul dari perjanjian dapat beralih kepada para ahli waris mereka memperoleh hak.
Peralihan hak kepada ahli waris adalah peralihan hak dengan alas hak yang umum, sedangkan peralihan hak kepada mereka yang memperoleh hak dengan alas hak yang khusus.
3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.
Dalam pasal 1340 disebutkan dalam ayat 2 bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga: tak apat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalamhal yang diatur dalam pasal 1317.
Dalampasal 1317 terdapat dua peristiwa untuk berlakunya janji guna pihak ketiga yaitu:
1) Apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri.
2) Suatu pemberian yang dilakukanya kepada seorang lain.
Syarat –syarat perjanjian ;
Pasal 1320 untuk syahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
· Sepakat merewka yang mengikatkan dirinya
· Kecakapan untuk membuat suatu periktan
· Suatu hal tertentu
· Suatu sebab yang halal
Berlakunya perjanjian diatur dalam pasal 1315, 1318 dan 1340 KUH Perdata.
1) Perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.
2) Perjanjian berlaku bagi para ahli waris dan mereka memperoleh hak
3) Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.
Pasal 1315 dan pasal 1340, perjanjian hanya berlaku untuk para pihak yang membuat perjanjian, perjanjian tidak dapat membawa kerugian atau keuntungan bagi pihak ketiga, kecuali yang diatur dalam pasal 1317.
Kecakapan Untuk Membuat suatu Perjanjian.
Dalam KUH Perdata terdapat dua istilah tidak cakap (Onbekwaam) dan tidak berwenang (Onvevoegd) :
1) Tidak cakap adalah orang yang umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang lengkap, seperti orang belum dewasa, orang di bawah kuratil (pengampunan), sakit jiwa dan sebagainya.
2) Tidak berwenang adalah orang itu cakap tetapi ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tertentu missal pasal-pasal 1467-1470, 1601 I, 1678 dan 1681.
Pasal 1330, tak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang di bawah pengampuan
3) Orang-orang perempuan………..dan lain-lain, (orang-orang perempuan dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum SE MA No.3 tahun 1963).
Mengenai ketidakwenangan seorang akibat hukumnya tidak diatur lebih lanjut, tetapi demi perlindungan kepentingan umum maka akibat hukum dari perbuatan yang tidak wenang adalah batal, karena merupakan pelanggaran terhadap peraturan undang-undang yang telah ditentukan.
Sedangkan untuk orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan karena ketidakcakapannya itu untuk melindungi orang-orang yang bersangkutan maka perbuatannya dapat dibatalkan (Vernietigbaar).
Suatu Sebab yang Halal
Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai dua fungsi yaitu : Perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat ini perjanjian batal, sebabnya harus halal, kalau tidak halal perjanjian batal.
Bahwa tidak adanya sebab, maka apa yang hendak dicapai oleh para pihak adalah lenyap pula dalam kenyataan dan tidak dapat dilaksanakan, misalnya pihak-pihak membuat perjanjian untuk melaksanakan perjanjian terdahulu, padahal perjanjian yang terdahulu sudah dibatalkan sehingga para pihak bermaksud melaksanakan perjanjian yang sebetulnya sudah tidak ada. Ini merupakan perjanjian tanpa sebab.
Perjanjian dengan sebab yang tidak halal adalah bertentangan dengan pasal 1337, yaitu dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Syarat-syarat, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat perjanjian dapat disebut syarat subyektif. Syarat-syarat, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal dapat disebut syarat obyektif.
Apabila syarat subyektif tersebut di atas tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan (Vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif tersebut di atas tidak dipenuhi maka perjanjian adalah batal demi hukum.
Tentang Akibat dari Perjanjian
Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat, jadi mengikat pihak-pihak dalam perjanjian. Orang bebas membuat perjanjian karena adanya kebebasan berkontrak, orang boleh membuat perjanjian yang menyimpang daripada yang ditentukan oleh Undang-Undang, karena ketentuan undang-undang mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian adalah hukum pelengkap.
Simulasi
Adalah perbuatan atau beberapa perbuatan-perbuatan,dimana dua oarang atau lebih bahwa meraja\\kqa keluar menunjukan seolah-olah terjadi perjanjian antara mereka,namun sebenarnya secara rahasia mereka setuju bahwa perjanjian yang nampak keluar itu tidak berlaku,ini dapat terjadi dalam hal hubungan hukum antara mereka tidak ada perubahan apa-apa atau bahwa dengan perjanjian pura-pura itu akan berlaku hal lain.
Cacad Kehendak (Wilsgebrek)
Kadang-kadang terjadi cacat dalam persesuaian kehendak dalam perjanjian karena salah satu pihak tidak dapat mengemukakan kehendaknya secara murni.
Kekhilafan ( kesesatan )
Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya.
Paksaan ( pasal 1323-1324 )
Paksaan dalam arti luas meliputi segala macam ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang dibawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka perjanjian dapat dibatalkan.
Penipuan
Perjanjian yang dilakukan dengan penipuan dapat dibatalkan. Bedanya dengan paksaan ialah ibahwa ia sadar bahwa kehendaknya itu tidak dikehendaki, bahwa orang tidak menghendaki tetapi ia harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu keliru demikian pula kesesatan/kekhilafan.
