PAPER HUKUM DAGANG ISLAM
PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH
Disusun Oleh :
Kelompok VII
1. ICHSAN HARIS (130.2005.013)
2. ADI PUTRA (130.2005.003)
3. CHAUDRY Z.A (130.2005.029)
4. YAKUB MARTOYUDO (130.2005.028)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2007
PENYELESAIAN SENGKETA SYARIAH
Disusun Oleh :
Kelompok VII
1. ICHSAN HARIS (130.2005.013)
2. ADI PUTRA (130.2005.003)
3. CHAUDRY Z.A (130.2005.029)
4. YAKUB MARTOYUDO (130.2005.028)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2007
I. PENDAHULUAN
Pada waktu-waktu sebelum reformasi penerapan dan penegakan hukum Islam di Negara Hukum Indonesia (NHI) ini masih sangat terbatas atau tepatnya dibatasi dalam hal-hal hukum perdata atau tepatnya dalam hal hukum keluarga, dan itupun masih dalam konteks yang terbatas atau dibatasi; pasca reformasi NHI, hukum perdata Islam yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia tampak mengalami perluasan yang sangat signifikan.
Di antara contohnya ialah penerapan hukum Islam bidang muamalah, khususnya perbankan syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan asuransi syariah di samping yang lain-lain. Sama halnya dengan hukum materiil ekonomi islam/ekonomi syariah lainnya, hukum materiil asuransi syariah juga pada dasarnya mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sedangkan mengenai hukum formil (hukum acara) ekonomi syariah pada umumnya dan asuransi syariah pada khususnya, dapat dikatakan belum secara khusus belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, kehadiran hukum acara tentang muamalah ini jelas merupakan kepentingan mendesak yang harus dipikirkan oleh lembaga-lembaga yang menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan ekonomi Islam/syariah umumnya dan asuransi syariah pada khususnya.
II. Pengertian
Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dalam berbagai-bagai arti seperti pembersihan dan pemecahan) seperti pemberesan dan pemecahan.(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hlm. 1020).
Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran dan perbantahan; selain diartikan dengan pertikaian; perselisihan dan perkara (di pengadilan). (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, hlm. 1037).
Syariah dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminology, syariah diartikan sebagai hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya sebagaimana terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
III. Badan/Lembaga yang Berwenang Menyelesaikan Sengketa Syariah
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) (Non Litigasi)
Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993/ 5 Jumadil Awal 1414 H membentuk suatu lembaga yang dinamakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang beberapa tahun kemudian berubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdasarkan SK MUI No Kep-09/ MUI XII/ 2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Tugas BASYARNAS antara lain :
1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2) Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Sejatinya, arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat.
Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat islam dan prosedur hokum yang berlaku. Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat (binding).
Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbiter. Kasus sengketa syariah tersebut dapat dibawa ke lembaga Arbitrase kalau kedua pihak menyetujui. Hal ini mengacu kepada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam ajaran islam, semua aktivitas hendaknya disandarkan pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Kehadiran Badan Arbitrase sangat dianjurkan dalam islam guna mencapai kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk sengketa bisnis. Hal yang demikian dimaksudkan agar umat islam terhindar dari perselisihan/pertengkaran yang dapat memperlemahn persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiah.
Peradilan Agama (Litigasi)
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan lembaga-lembaga keuangan syariah di Negara Hukum Indonesia, yang di masa-masa depan tidak mustahil akan timbul banyak kasus yang boleh jadi tidak akan mampu ditangani oleh BASYARNAS dan memerlukan campur tangan peradilan.
Maka negarapun memandang penting untuk membentuk undang-undang yang memberikan wewenang kepada lembaga peradilan untuk menerima, memeriksa dan menyelesaiakan perkara-perkara di bidang hukum muamalah ini.
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang dalam Pasal 49 nya menyebutkan :
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi Syariah.”
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama juga menyebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘Ekonomi Syariah’ adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi :
a. Bank Syariah
b. Asuransi Syariah
c. Reasuransi Syariah
d. Reksadana Syariah
e. Obligasi Syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
f. Sekuritas Syariah
g. Pembiayaan Syariah
h. Pegadaian Syariah
i. Dana Pensiun Syariah
j. Bisnis Syariah, dan
k. Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Dengan Pasal tersebut, Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut sebagai forum litigasi menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah, yang termasuk di dalamnya isu-isu perbankan syariah.
Mengacu kepada perundangan yang sudah ada, MA harus menegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktek ekonomi syariah mesti diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam akadnya suatu kalusul mengenai dilibatkannya Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa.
Tetapi penegasan ini tidak cukup, penyelesaian sengketa dalam hokum perikatan umum, lembaga Arbitrase sebagai jalur penyelesaian non-litigas ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal eksekusi misalnya. Lembaga Arbitrase jelas-jelas tidak bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas dan wewenang pengadilan agama pun nanti kurang lebih sama dengan pengadilan umum dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini.
IV. KESIMPULAN
Sesuai dengan doktrin ilmu hukum yang menyatakan bahwa hukum “tidak berlaku surut,” maka sejauh yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini diberlakukan, tentu diselesaikan melalui BASYARNAS sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani para pihak.
Pemahaman seperti ini juga ditopang oleh asas akad yang antara lain berasaskan kebebasan berkontrak, termasuk tentunya kebebasan untuk memilih lembaga/badan yang menengahi atau dipercaya untuk menyelesaikan perkara bila di kemudian hari terjadi perselisihan.
Penyelesaian perkara sengketa syariah masih tetap dimungkinkan melalui BASYARNAS sepanjang para pihak menghendaki hal yang demikian, dan dicantumkan di dalam surat perjanjian/kontrak tentang kemungkinan penyelesaian perselisihan melalui BASYARNAS ini.
Hanya saja, bila para pihak menghendaki untuk menyelesaikan perkaranya melalui Pengadilan Agama, maka ini akan lebih baik dan lebih kuat mengikat secara umum dan secara keseluruhan, eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan tentu lebih kuat dibandingkan dengan lembaga arbitrase dan lembaga-lembaga sejenis di luar lembaga peradilan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar